Selamat malam sobat ,kali ini saya akan memposting hasil pekerjaan makalah saya pada waktu semester 1 yaa mata pelajara anti korupsi , sebelumnya saya minta maaf kalau ada kesalahan dalam penuliasan makalah ini , siapa tau ada dari sebagian sobat yang berasal dari jurusan hukum dan mungkin mau komentar dengan makalah saya inisilahkan komentar yaa sob ,
BAB I
PENDAHULAUN
1.1 Latar Belakang
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah
sangat lama terjadi dalam masyakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang
yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap
agar keinginannya tercapai untuk mendapatkan
keuntungan
dan agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Orang yang paling
banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi
pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya
dalampemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah.Suap sering diberikan
kepada para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Suap juga ditemukan dalam penerimaan
pegawai, promosimaupun mutasi, bahkan saat ini suap disinyalir telah merambah
ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswi baru, kenaikan
kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu dalam ujian mata
pelajaran atau mata kuliah.
2.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu
hakekat suap dan korupsi ?
2. dasar
hukum apa saja yang berkaitan dengan tindak pidana suap ?
3. Sanksi
apa saja yang diterima oleh tindak pidana suap ?
2.3 Tujuan
1.
Mendeskripsikan pengertian suap
2. Mendeskripsikan tentang penyuap dan penerima suap
3. Mendeskripsikan dasar hukum tindak pidana suap
4. Mendeskripsikan sanksi hukum tindak pidana suap
2. Mendeskripsikan tentang penyuap dan penerima suap
3. Mendeskripsikan dasar hukum tindak pidana suap
4. Mendeskripsikan sanksi hukum tindak pidana suap
D. Manfaat
Makalah ini
membuat masyarakat mengerti bahwa suap menyuap termasuk bagian dari korupsi
yang dapat merugikan negara, serta membuat masyarakat tidak melakukan suap menyuap
apalagi korupsi karena mereka telah mengetahui hukuman bagi pelakunya dan
kerugian yang akan dialami oleh
negara akibat perbuatan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Suap dan Korupsi
Seseorang yang
terlibat dalam perbuatan suap-menyuap sebenarnya harus malu apabila
menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat
merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si penerima suap.
Suap (bribery) bermula
dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah “begging” (mengemis)
atau “vagrancy” (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang
artinya “a piece of bread given to beggar” (sepotong roti yang diberikan
kepada pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna “sedekah” (alms),
“blackmail”, atau “extortion” (pemerasan) dalam kaitannya dengan “gifts
received or given in order to influence corruptly” (pemberian atau hadiah
yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat
atau korup).
Suap-menyuap bersama-
sama dengan penggelapan dana-dana publik (embezzlement of public funds)
sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi.
Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai bejat moral, perbuatan
yang tidak wajar, atau noda (depravity, perversion, or taint); suatu
perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral (an impairment of
integrity, virtue, or moral principles).
Kriminalisasi terhadap
tindak pidana korupsi, termasuk suap-menyuap, mempunyai alasan yang sangat
kuat sebab kejahatan tersebut tidak lagi dipandang sebagai kejahatan
konvensional, melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime),
karena karakter korupsi yang sangat kriminogin (dapat menjadi sumber
kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan pelbagai
dimensi kepentingan).
2.2 Tinjaun Historis Pemberian Suap Sebagai Kejahatan Jabatan
Pemberian suap
bagi kalangan Pegawai Negeri berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) termasuk dalam kategori kejahatan jabatan.
Menurut Victor
M. Situmorang adalah kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri/pejabat
dalam pekerjaannya dan kejahatan mana termasuk salah satu perbuatan pidana
yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP.
Kejahatan
jabatan yang berkaitan dengan suap hanya 3 (tiga) pasal
saja yang
diatur dalam KUHP.
Tabel
1
Pemberian
suap
Tabel
2
Penerima
suap
Keempat pasal
tindak pidana Kejahatan dalam Jabatan dalam KUHP
menunjukkan ada tujuh
bentuk tindak pidana suap sebagai berikut :
2.3 Bukti keluarbiasaan
Secara internasional
tindak pidana korupsi dalam jumlah yang signifikan dapat menimbulkan ancaman
terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat; dapat merusak lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan; bersifat diskriminatif
dan merongrong etika dan kompetisi bisnis yang jujur; mencederai pembangunan
berkelanjutan dan tegaknya hukum.
Selanjutnya secara
empiris terbukti bahwa kemungkinan keterkaitan antara korupsi dan bentuk
kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan
orang, penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan kejahatan ekonomi
termasuk tindak pidana pencucian uang, yang menempatkan tindak pidana korupsi
sebagai salah satu kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana
yang bisa dicuci (predicate crime).
Tindak pidana korupsi
kelas kakap berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara dalam
jumlah besar sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan
membahayakan stabilitas politik suatu negara. Korupsi tidak mustahil sudah
bersifat transnasional, contohnya adalah apa yang dinamakan commercial
corruption, yaitu penyuapan oleh perusahaan-perusahaan multinasional kepada
pejabat-pejabat negara berkembang.
Korupsi juga
diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia (human
security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan
sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain.
Dalam kerangka
penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun
transnasional, korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi
mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak segan-segan melanggar code of
conduct sebagai aparatur negara.
Dengan demikian,
tampak bahwa elemen tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara
langsung unsur "merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara". Dalam suap-menyuap yang merupakan hal yang tercela adalah
penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan privilese
atas dasar imbalan keuntungan finansial dan lain-lain, pelanggaran
kepercayaan yang merupakan elemen demokrasi, rusaknya mental pejabat,
ketidakjujuran dalam berkompetisi, bahaya terhadap human security, dan
sebagainya.
2.4 Agenda Reformasi
Reformasi (reform
movement) harus ditafsirkan sebagai upaya sistematik untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai dasar (indexs) demokrasi. Menciptakan pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN merupakan salah satu agenda reformasi di samping amandemen UUD
1945, promosi dan perlindungan HAM, penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur
dan adil, penguatan civil society, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan pers, desentralisasi (otonomi daerah), supremasi sipil, dan
lain-lainnya.
Bagi Indonesia yang
sejak tahun 1998 berada di Era Reformasi, penanggulangan korupsi yang sudah
bersifat sistemik dan endemik, termasuk suap-menyuap (yang oleh mantan
Presiden Bank Dunia James Wolfensohn disebut sebagai "the cancer of
developing countries") merupakan salah satu agenda reformasi yang harus
dituntaskan.
Pelbagai substansi hukum
(legal substance) telah dibangun untuk memberantas KKN dan menciptakan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti Tap MPR No
XI/MPR/1998 dan UU No 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 jo UU
No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 30 Tahun 2002
tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan
baru-baru ini Indonesia turut menandatangani (belum meratifikasi) UN Convention
Against Corruption, Vienna, 2003. Dalam konvensi ini ada empat hal yang
menonjol, yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi yang lebih
luas, kerja sama internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk
mengembalikan aset yang dilarikan ke luar negeri.
Dari sisi kebijakan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah beberapa kali berusaha untuk
mengakselerasi pemberantasan tindak pidana korupsi, terakhir baru-baru ini
dikeluarkan instruksi berupa delapan prioritas dalam upaya pemberantasan
korupsi, yang akan dimulai dari audit di lingkungan Kantor Presiden dan Wakil
Presiden.
Dari sisi struktur
hukum (legal structure) di samping telah dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang juga menggabungkan KPKPN di dalamnya, atas dasar UU No 30
Tahun 2002 dimungkinkan pula pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi
yang bersifat khusus pengadilan ad hoc, yang korban pertamanya adalah
Abdullah Puteh.
Belum lagi usaha untuk
membentuk komisi kepolisian, komisi kejaksaan, dan komisi yudisial untuk
mengawasi perilaku penegak hukum.
Dengan kemajuan yang
relatif cukup signifikan di bidang substansi dan struktur hukum di atas, maka
bilamana masyarakat belum puas terhadap pemberantasan KKN termasuk
suap-menyuap, persoalannya cenderung berkaitan dengan budaya hukum (legal
culture) dan kualitas moral sumber daya manusianya, berupa pandangan, sikap,
persepsi, perilaku, dan bahkan falsafah dari para anggota masyarakat yang
kontraproduktif. Lebih-lebih budaya hukum dari yang terlibat dalam penegakan
hukum (legal culture of the insider) yang belum sepenuhnya dapat menyesuaikan
diri dengan semangat reformasi.
2.5 Hukum Nasional
Walaupun korupsi,
termasuk suap-menyuap, dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, dalam
beberapa hal tindak pidana suap juga dikriminalisasikan sebagai lex
specialis, misalnya suap-menyuap yang terjadi di lingkungan perbankan, yang
berkaitan dengan pemilihan umum, dan suap yang berkaitan dengan kepentingan
umum.
Kriminalisasi terhadap
tindak pidana suap secara mendasar sudah dilakukan melalui Pasal 209 KUHP
yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery)
terhadap pegawai negeri. Pasangan dari pasal ini adalah Pasal 419 KUHP yang
mengatur tentang penyuapan pasif (passive omkooping atau passive bribery), yang
mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji
tersebut di atas.
Selanjutnya Pasal 210
KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan.
Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420
KUHP.
Keempat pasal tersebut
kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999
jo UU No 20 Tahun 2001.
Perluasan tindak
pidana suap dalam bentuk retour-commissie atau gratifikasi diatur dalam Pasal
418 KUHP. Pasal ini kemudian juga diangkat menjadi tindak pidana korupsi (UU
No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001); 'Gratifikasi merupakan pemberian
hadiah yang luas dan meliputi: pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Suap yang menyangkut
kepentingan umum (baik aktif maupun pasif) dikriminalisasikan melalui UU No
11 Tahun 1980. Suap di lingkungan perbankan diatur dalam UU No 10 Tahun 1998.
Suap-menyuap dalam pemilu (money politics) diatur dalam UU No 12 Tahun 2003
dan UU No 23 Tahun 2003. Begitu pula dalam UU No 32 Tahun 2004 sepanjang
berkaitan dengan pemilihan kepala daerah.
2.6 Hukum Internasional
Banyak sekali
instrumen regional (misalnya EU, Inter- American, African Union, Southern
African Development Community) maupun organisasional (misalnya OECD, GRECO)
yang dirumuskan untuk mencegah dan memberantas korupsi termasuk suap-menyuap.
Dalam pertumbuhannya instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN
Convention Against Corruption, Vienna, 2003.
Dalam Konvensi PBB ini
ruang lingkup bribery diperluas dan mencakup penyuapan terhadap pejabat
publik, termasuk pejabat publik asing dan pejabat publik dari organisasi
internasional, baik aktif maupun pasif.
Bahkan dianjurkan pula
mengkriminalisasikan perbuatan suap di lingkungan swasta (bribery in the
private sector) dalam kegiatan komersial, ekonomi, dan finansial. Termasuk
juga pelbagai bentuk suap yang dapat mengganggu proses peradilan yang jujur
dan independen (obstruction of justice).
BAB III
PENUTUP
3.1 Saran
Suap menyuap yang
berkaitan dengan publik adalah inti dari tindakan korupsi sebaiknya perbuatan
itu harus segera di atasi agar tidak terjadi kerugian d keuangan negara
3.2 Kesimpulan
pengembangan
bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang telah terjadi, khususnya yang berkaitan dengan tindak
pidana suap menyuap. Hal ini ternyata dari pengaturan tindak pidana kejahatan
dalam jabatan menurut KUHP, terutama perbuatan suap berupa tujuh bentuk
tindak pidana. Berdasarkan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
ada 12 bentuk tindak pidana suap menyuap. Perluasan pengaturan tindak pidana
suap menyuap ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam upaya memberantas
korupsi di negeri Indonesia yang kita cintai ini.
Daftar Pustaka
R. Wiyono, Pembahasan
Undang-undang Pemberantasan TIndak Pidana
Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Victor M.
Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, PT Rineka Cipta,
Jakarta, 1990.
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5118&coid=3&caid=22&gid=3
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar